Etnografi dan Tantangan Baru Penelitian Islam di Era Digital

oleh | Nov 1, 2025

Etnografi adalah sebuah jendela yang memperlihatkan bagaimana manusia hidup, berpikir, dan memaknai dunianya. Dalam tradisi ilmu sosial, etnografi dianggap sebagai metode yang paling manusiawi karena menuntut peneliti untuk hadir secara langsung di tengah masyarakat, berbicara, mendengar, dan menyelami pengalaman hidup orang lain. Melalui keterlibatan itu, peneliti tidak hanya mengumpulkan data, tetapi berupaya memahami makna di balik perilaku, bahasa, dan simbol budaya.

Dalam konteks penelitian Islam Humaniora dan adat Minangkabau, etnografi memegang posisi yang amat penting. Ia memberikan jalan untuk melihat bagaimana nilai-nilai Islam dan adat Minangkabau hidup di tengah masyarakat, bukan sekadar sebagai konsep normatif, tetapi sebagai praktik sosial yang nyata. Falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah atau ABS-SBK menjadi contoh konkret tentang bagaimana ajaran agama dan adat berpadu dalam membentuk sistem nilai, etika sosial, dan pola kepemimpinan masyarakat Minangkabau.

Melalui pendekatan etnografis, peneliti dapat memahami makna di balik musyawarah, amanah, marwah, dan prinsip tanggung jawab sosial yang melekat dalam kehidupan masyarakat. Nilai-nilai tersebut tidak bisa diukur hanya melalui angka statistik, sebab yang hendak diungkap bukan sekadar fakta sosial, melainkan makna yang hidup di balik perilaku manusia. Dalam kerangka ini, etnografi berperan bukan hanya sebagai alat penelitian, tetapi juga sebagai upaya menyingkap wajah kemanusiaan yang sering tersembunyi di balik data empiris.

Namun, relevansi etnografi tidak berarti tanpa kritik. Dunia sosial yang menjadi medan penelitian kini berubah sangat cepat. Transformasi digital telah menggeser cara manusia berkomunikasi, berinteraksi, dan membangun identitas. Masyarakat kini hidup di dua ruang sekaligus, ruang fisik dan ruang digital. Di media sosial, nilai, moral, dan adat sering kali dinegosiasikan ulang, bahkan dipertanyakan. Dalam konteks inilah metode etnografi klasik yang mengandalkan pengamatan lapangan secara langsung mulai menghadapi keterbatasan.

Etnografi tradisional cenderung memusatkan perhatian pada ruang sosial yang terbatas, seperti kampung, pasar, atau lembaga adat. Padahal kini sebagian besar aktivitas sosial, ekonomi, dan politik berlangsung di dunia maya. Komunikasi politik, ekspresi keagamaan, hingga solidaritas sosial, kini juga hadir dalam bentuk digital. Fenomena ini menuntut pembaruan dalam cara peneliti memahami realitas sosial. Tanpa pembaruan metodologis, etnografi akan kesulitan menjangkau wajah baru masyarakat kontemporer yang semakin kompleks.

Kritik terhadap etnografi bukanlah hal baru. Banyak ilmuwan sosial menilai metode ini terlalu subjektif karena sangat bergantung pada interpretasi peneliti. Dalam masyarakat yang memiliki struktur adat dan otoritas keagamaan yang kuat seperti Minangkabau, posisi peneliti menjadi sangat sensitif. Ia tidak mungkin benar-benar netral. Ia membawa nilai, keyakinan, dan latar belakangnya sendiri ke dalam proses penelitian. Karena itu, diperlukan bentuk etnografi baru yang reflektif, yang menyadari keberpihakan dan posisi moral peneliti.

Dalam perspektif Islam Humaniora, kesadaran reflektif ini bukan sekadar tuntutan akademik, melainkan juga kewajiban moral. Penelitian bukan hanya tentang menghasilkan pengetahuan, tetapi juga tentang bagaimana pengetahuan itu membawa manfaat dan kemaslahatan. Peneliti harus sadar bahwa setiap pertanyaan yang ia ajukan dan setiap jawaban yang ia tulis adalah bagian dari tanggung jawab kemanusiaan. Dengan demikian, etnografi tidak hanya menjadi sarana ilmiah, tetapi juga ikhtiar moral untuk memahami manusia sebagai makhluk bermakna.

Selain persoalan subjektivitas, tantangan lain yang dihadapi etnografi klasik adalah masalah representasi. Siapa yang sebenarnya berbicara dalam tulisan etnografi? Apakah suara yang muncul adalah suara masyarakat yang diteliti atau suara peneliti yang menafsirkan mereka? Dalam konteks penelitian Islam dan adat, peneliti harus berhati-hati agar tidak berbicara atas nama komunitas tanpa memberi ruang bagi partisipasi dan koreksi. Prinsip adab ilmiah menuntut agar peneliti menjadikan masyarakat sebagai mitra dialog, bukan objek penelitian semata. Dalam kerangka ini, etnografi yang baik harus bersifat partisipatif dan dialogis.

Untuk menjawab berbagai keterbatasan tersebut, etnografi perlu direkonstruksi menjadi bentuk yang lebih reflektif dan integratif. Etnografi reflektif integratif menuntut tiga prinsip utama. Pertama, refleksivitas moral dan epistemologis. Peneliti harus memahami dirinya bukan hanya sebagai pengamat, tetapi juga sebagai bagian dari realitas sosial yang ia teliti. Kesadaran ini penting agar penelitian tidak jatuh pada objektivitas palsu yang mengabaikan nilai dan konteks moral masyarakat.

Kedua, integrasi dengan pendekatan digital dan kuantitatif. Etnografi di era Society 5.0 tidak bisa berhenti pada observasi lapangan tradisional. Ia perlu diperluas untuk menangkap kehidupan manusia di ruang digital. Analisis media sosial, data daring, dan interaksi virtual menjadi bagian dari “lapangan” baru. Hasil temuan kualitatif dari etnografi dapat diuji dengan survei atau model statistik untuk memastikan validitas dan memperkuat dasar teoritis penelitian.

Ketiga, kolaborasi partisipatif. Penelitian yang dilakukan di tengah masyarakat tidak boleh berhenti pada relasi hierarkis antara peneliti dan informan. Sebaliknya, penelitian harus dijalankan dalam semangat kebersamaan, sebagaimana prinsip musyawarah yang menjadi inti kehidupan sosial Minangkabau. Ulama, ninik mamak, tokoh adat, dan masyarakat umum sebaiknya dilibatkan sebagai rekan berpikir, bukan sekadar sumber data. Pendekatan partisipatif ini selaras dengan nilai-nilai Islam Humaniora yang menjunjung tinggi keadilan, kejujuran, dan kemitraan.

Etnografi yang diperbarui dengan cara demikian akan lebih mampu berkontribusi pada penelitian kontemporer, termasuk dalam pengembangan model manajemen sumber daya manusia berbasis nilai seperti AMANAH 5.0. Melalui etnografi, peneliti dapat menggali nilai-nilai dasar seperti akhlak, tanggung jawab, dan akuntabilitas sosial yang hidup di tengah masyarakat. Temuan ini kemudian dapat digunakan untuk membangun indikator perilaku dan etika kepemimpinan yang sesuai dengan konteks lokal dan prinsip Islam. Dengan cara ini, etnografi bukan hanya menghasilkan deskripsi budaya, tetapi juga membangun dasar konseptual bagi kebijakan publik yang berkeadaban.

Di era digital, etnografi juga memiliki peran penting dalam memahami perubahan moralitas dan identitas masyarakat. Di media sosial, nilai-nilai ABS-SBK sering kali dihadapkan pada arus informasi global yang tidak selalu sejalan dengan tradisi lokal. Di sinilah peran peneliti menjadi strategis, yakni mengamati bagaimana masyarakat Minangkabau menegosiasikan identitasnya dalam ruang digital tanpa kehilangan akar budayanya. Etnografi membantu melihat dinamika ini secara lebih manusiawi, tidak hanya sebagai data, tetapi sebagai kisah hidup.

Pada akhirnya, etnografi tetap menjadi salah satu pendekatan paling kuat untuk memahami manusia. Ia mengajarkan kesabaran, empati, dan kepekaan terhadap makna. Tetapi agar tetap relevan, etnografi harus berani beradaptasi. Dunia yang terus berubah menuntut metode penelitian yang terbuka, kreatif, dan reflektif. Etnografi harus mampu menjangkau ruang digital, menjalin kolaborasi lintas disiplin, dan tetap berpijak pada nilai kemanusiaan.

Dalam konteks Islam Humaniora dan adat Minangkabau, pembaruan etnografi bukan sekadar persoalan teknik, tetapi juga persoalan etika dan peradaban. Ilmu yang baik bukan hanya yang benar secara metodologis, tetapi juga yang membawa manfaat bagi manusia dan lingkungannya. Dengan semangat itu, etnografi dapat menjadi jembatan antara nilai dan pengetahuan, antara tradisi dan inovasi, antara spiritualitas dan sains.

Ketika ilmu pengetahuan semakin dikuasai oleh algoritma dan data, etnografi mengingatkan bahwa manusia bukan sekadar angka atau pola, melainkan makhluk yang memiliki makna dan tujuan. Di tangan peneliti yang beriman, berakal, dan beradab, etnografi bukan sekadar metode ilmiah, tetapi juga jalan menuju kemanusiaan yang lebih utuh.

Baca Juga..