Kita hidup di zaman ketika data bisa menentukan arah hidup manusia. Segala sesuatu kini diukur dengan algoritma, dari cara kita bekerja, belajar, sampai memilih hiburan. Dalam situasi seperti ini, ilmu pengetahuan sering dianggap sebagai puncak kebijaksanaan modern. Banyak orang percaya bahwa sains selalu benar, selalu netral, dan bebas dari nilai. Tapi kalau kita lihat lebih dalam, benarkah ilmu pengetahuan sesempurna itu?
Sejarah menunjukkan bahwa ilmu tidak pernah berdiri di ruang hampa. Ia lahir dari konteks budaya, ideologi, dan kepentingan manusia. Di masa lalu, pengetahuan tumbuh dari rasa ingin tahu yang dipadukan dengan nilai moral dan spiritual. Tapi ketika sains modern muncul di Eropa pada abad ketujuh belas, arah itu berubah. Ilmu mulai dipisahkan dari etika, dari agama, dan bahkan dari pertanyaan tentang makna hidup.
Pandangan ini membuat manusia modern percaya bahwa dengan logika dan eksperimen, segalanya bisa dijelaskan. Akibatnya, sains sering diposisikan sebagai satu-satunya kebenaran. Pendekatan ini memang membawa banyak kemajuan, dari teknologi, kedokteran, sampai kecerdasan buatan. Namun di saat yang sama, ia juga menciptakan jarak baru antara manusia dan nilai kemanusiaannya. Dunia jadi lebih efisien, tapi juga terasa lebih dingin.
Kita bisa melihat dampaknya di mana-mana. Lingkungan rusak, kesenjangan sosial melebar, dan manusia semakin terjebak dalam rutinitas digital yang serba cepat. Di tengah kemajuan itu, muncul pertanyaan mendasar: apakah ilmu pengetahuan masih berpihak pada manusia? Atau justru sebaliknya, manusia kini yang menjadi alat dari sistem teknologi yang ia ciptakan sendiri?
Pemikiran filsafat ilmu modern sebenarnya sudah lama mengingatkan hal ini. Karl Popper misalnya, menyebut ilmu sebagai proses yang tidak pernah selesai. Tidak ada kebenaran mutlak dalam sains, yang ada hanyalah teori yang bisa dibantah oleh teori lain. Thomas Kuhn menambahkan bahwa ilmu berkembang lewat revolusi paradigma, yaitu saat komunitas ilmiah mengganti cara pandangnya terhadap dunia. Michel Foucault bahkan lebih tajam lagi. Baginya, pengetahuan selalu terkait dengan kekuasaan. Siapa yang menguasai wacana, dialah yang menentukan apa yang dianggap benar.
Dari situ kita bisa melihat bahwa ilmu tidak netral. Ia dipengaruhi oleh siapa yang menggunakannya dan untuk tujuan apa. Karena itu, berbicara tentang ilmu pengetahuan berarti juga membicarakan tanggung jawab etis di baliknya.
Dalam tradisi Islam, ilmu selalu punya dimensi moral dan spiritual. Pengetahuan bukan sekadar alat untuk menguasai alam, tapi juga sarana untuk memahami diri dan Tuhan. Tauhid sebagai inti pandangan dunia Islam tidak hanya berarti mengesakan Tuhan, tapi juga menghubungkan semua aspek kehidupan: akal, indera, dan wahyu.
Alam dipandang sebagai tanda, bukan sekadar objek kajian. Ayat-ayat Tuhan tidak hanya tertulis di kitab suci, tapi juga di jagat raya. Itulah mengapa para ilmuwan Muslim klasik seperti Al Ghazali dan Ibnu Sina melihat ilmu sebagai jalan menuju kesempurnaan manusia. Mengetahui sesuatu berarti mendekatkan diri pada kebenaran, dan kebenaran tertinggi adalah Allah.
Dalam pendekatan ini, ilmu tidak bisa dipisahkan dari etika. Seseorang tidak hanya dinilai dari seberapa banyak pengetahuannya, tapi juga dari bagaimana ia menggunakan pengetahuan itu untuk kebaikan. Maka belajar dan meneliti bukan hanya aktivitas intelektual, tapi juga tanggung jawab moral.
Menariknya, dalam metodologi Islam, pencarian pengetahuan tidak hanya didasarkan pada observasi dan logika. Ada peran intuisi dan wahyu. Metode ta’wil misalnya, tidak hanya digunakan untuk menafsirkan teks suci, tapi juga untuk memahami realitas. Prinsipnya adalah mencari makna di balik yang tampak, bukan sekadar berhenti pada data empiris.
Pendekatan semacam ini terasa relevan di era digital sekarang. Kita hidup dalam budaya data yang sering mengabaikan nilai batin. Dunia modern cenderung mengukur segalanya dalam angka dan efisiensi, padahal tidak semua hal bisa direduksi ke dalam statistik. Dalam konteks ini, pendekatan Islam terhadap ilmu bisa menjadi alternatif yang menarik, yakni cara pandang yang tidak menolak sains, tapi juga tidak melupakan dimensi spiritual dan moral.
Gagasan integrasi ilmu ini sebenarnya sudah banyak dibahas oleh para pemikir Muslim kontemporer seperti Syed Naquib Al Attas, Ismail Al Faruqi, dan Osman Bakar. Mereka berupaya membangun sistem pengetahuan yang menghubungkan rasionalitas dengan nilai ilahiah. Bagi mereka, semua ilmu berasal dari sumber yang sama, hanya cara dan konteksnya yang berbeda.
Jika model ini diterapkan, maka ilmu pengetahuan akan membentuk ekosistem yang saling melengkapi. Sains tetap penting, tapi ia harus berjalan seiring dengan nilai dan etika. Dengan begitu, pengetahuan tidak lagi dipahami sebagai kekuatan yang netral, melainkan sebagai bagian dari tanggung jawab kemanusiaan.
Di tengah gempuran kecerdasan buatan dan teknologi digital, pendekatan ini terasa semakin penting. Dunia memang berubah dengan cepat, tetapi nilai dasar seperti empati, keadilan, dan kejujuran tidak boleh tertinggal. Kita perlu memastikan bahwa kemajuan teknologi tetap berpihak pada manusia, bukan sebaliknya.
Pendidikan tinggi punya peran besar dalam hal ini. Kampus bukan hanya tempat mencetak sarjana yang pintar, tapi juga pribadi yang berintegritas. Riset dan inovasi harus diarahkan untuk menjawab kebutuhan kemanusiaan, bukan sekadar mengejar prestise akademik atau keuntungan ekonomi.
Dalam konteks Indonesia, nilai lokal bisa menjadi fondasi yang kuat. Kearifan tradisional seperti falsafah Minangkabau “adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah” mengajarkan bahwa pengetahuan, tradisi, dan agama bisa berjalan seiring. Prinsip ini bisa menjadi inspirasi untuk membangun sains yang tidak tercerabut dari akar nilai masyarakat.
Sekarang, ketika teknologi bisa menulis, menganalisis, bahkan berpikir lebih cepat dari manusia, kita diingatkan pada satu hal sederhana: tidak ada mesin yang bisa menggantikan nurani. Tidak ada algoritma yang mampu meniru empati atau keberanian untuk memilih yang benar di tengah keraguan.
Ilmu pengetahuan seharusnya membantu manusia menjadi lebih bijak, bukan hanya lebih efisien. Ia seharusnya memanusiakan, bukan menyingkirkan sisi manusia itu sendiri. Karena itu, tantangan terbesar sains masa depan bukan sekadar menciptakan teknologi yang lebih canggih, tetapi memastikan bahwa kemajuan itu tetap berpihak pada nilai kemanusiaan.
Mungkin inilah saatnya kita merefleksikan ulang makna belajar dan meneliti. Ilmu bukan sekadar akumulasi data atau alat untuk mencapai status sosial. Ia adalah cara untuk memahami realitas, mengolahnya dengan nurani, dan menjadikannya sarana kebaikan bersama.
Kemajuan tidak bisa diukur hanya dari seberapa cepat teknologi berkembang, tetapi juga dari sejauh mana ia membawa manfaat bagi kehidupan. Pada akhirnya, ilmu pengetahuan harus kembali menemukan orientasi moralnya. Karena di antara data dan doa, di antara logika dan nilai, di situlah manusia menemukan keseimbangannya.