Pergeseran Makna Belajar di Era 5.0

oleh | Nov 3, 2025

Dalam sejarah manusia, belajar selalu menjadi jalan menuju kemerdekaan. Ia membebaskan manusia dari kebodohan, dari ketakutan, dan dari penindasan. Namun di era yang disebut sebagai Society 5.0, ketika dunia digital, kecerdasan buatan, dan teknologi informasi menjadi bagian dari nadi kehidupan, belajar tampak berubah menjadi sesuatu yang lain. Ia tidak lagi sekadar proses mencari kebenaran atau kebijaksanaan, tetapi sering kali berubah menjadi gaya hidup, bahkan komoditas.

Dulu, ilmu diasosiasikan dengan kesabaran, kedalaman, dan kedekatan antara guru dan murid. Proses belajar bukan hanya transfer pengetahuan, melainkan pembentukan kepribadian. Di pesantren, surau, dan madrasah, menuntut ilmu adalah ibadah panjang yang menuntut kesungguhan. Seorang murid bisa tinggal bertahun-tahun untuk memahami satu kitab, bukan karena sulitnya bahasa, tetapi karena ilmu dipandang sebagai cahaya yang tidak boleh dipahami dengan tergesa.

Kini, paradigma itu berubah. Belajar menjadi cepat, praktis, dan instan. Internet membuka jutaan sumber pengetahuan yang dapat diakses kapan saja. Video, kursus daring, dan sertifikasi digital membuat proses belajar tampak lebih mudah. Di satu sisi, ini adalah anugerah besar dari teknologi karena pengetahuan tidak lagi menjadi milik segelintir orang. Namun di sisi lain, muncul paradoks baru: ilmu yang dulu menjadi jalan menuju kebijaksanaan kini berisiko menjadi sekadar aksesori sosial.

Kita hidup dalam budaya belajar untuk tampil. Sertifikat menjadi bukti kecakapan yang diukur dengan algoritma, bukan dengan kedalaman pemahaman. Seminar daring dan kelas cepat berkembang di mana-mana. Banyak orang menimba ilmu bukan untuk memahami, tetapi untuk diakui. Dunia digital menjadikan belajar sebagai pertunjukan. Setiap pencapaian dibagikan di media sosial, setiap pemikiran dikemas agar tampak inspiratif. Dalam logika ini, belajar tidak lagi soal proses, tetapi soal citra.

Fenomena ini menandai pergeseran makna ilmu dalam konteks modern. Pengetahuan tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang sakral, melainkan sebagai bagian dari gaya hidup produktif. Kita menyukai kutipan para pemikir, tetapi sering kali berhenti pada keindahan kalimatnya, bukan kedalaman maknanya. Kita kagum pada tokoh intelektual, tetapi jarang meluangkan waktu untuk membaca karya mereka secara utuh. Inilah zaman di mana pengetahuan disebarkan dalam potongan kecil, seperti makanan cepat saji bagi pikiran.

Kondisi ini membawa kita pada pertanyaan mendasar: apakah manusia modern masih belajar untuk memahami, atau sekadar untuk diakui telah belajar?

Dalam konteks keislaman, pergeseran ini terasa sangat kuat. Tradisi ilmu dalam Islam sejatinya berakar pada adab, bukan pada kecepatan. Dalam pandangan klasik, ilmu adalah cahaya yang tidak akan diberikan kepada hati yang gelap. Artinya, ilmu tidak berdiri sendiri, melainkan melekat dengan moralitas dan kejujuran intelektual. Ulama dahulu menulis dengan hati, bukan untuk popularitas. Belajar menjadi jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, bukan untuk mencari status sosial.

Namun di era digital, semangat itu sering tereduksi. Agama pun kini diajarkan dan dipelajari dalam format yang singkat, instan, bahkan kompetitif. Ceramah pendek di media sosial sering kali lebih populer daripada pengajian panjang yang mendalam. Muncul fenomena guru virtual yang diikuti jutaan orang, sementara lembaga-lembaga tradisional kehilangan daya tarik di mata generasi muda.

Fenomena ini bukan sepenuhnya salah. Dunia memang berubah. Teknologi telah membuka peluang baru bagi dakwah, pendidikan, dan penyebaran pengetahuan. Namun yang perlu diwaspadai adalah hilangnya kedalaman dan ketenangan dalam belajar. Ketika ilmu diajarkan hanya untuk dihafal, bukan untuk direnungkan, maka pengetahuan kehilangan ruhnya.

Dalam Islam, kata ilmu selalu berdampingan dengan hikmah. Ilmu adalah pengetahuan, sedangkan hikmah adalah kebijaksanaan. Ilmu tanpa hikmah bisa melahirkan kesombongan, sementara hikmah tanpa ilmu bisa menjadi kebingungan. Di sinilah pentingnya menjaga keseimbangan antara kemajuan teknologi dengan kedalaman makna. Dunia modern membutuhkan orang-orang yang tidak hanya cerdas, tetapi juga arif.

Era Society 5.0 menjanjikan integrasi antara manusia dan teknologi. Di dalamnya, kecerdasan buatan menjadi mitra dalam berpikir dan bekerja. Namun ada hal yang tidak bisa digantikan, yaitu kemanusiaan itu sendiri. Mesin bisa menghafal jutaan data, tetapi tidak bisa memahami makna. Algoritma bisa meniru logika, tetapi tidak mengenal nurani.

Dalam konteks pendidikan, ini menjadi tantangan besar. Bagaimana memastikan bahwa teknologi tidak menggantikan proses kemanusiaan dalam belajar? Bagaimana ilmu tetap menjadi jalan pembentukan diri, bukan sekadar akumulasi informasi?

Jawabannya mungkin terletak pada cara kita memaknai kembali proses belajar. Belajar bukan sekadar aktivitas rasional, tetapi juga spiritual. Ia melibatkan seluruh dimensi manusia: pikiran, hati, dan tindakan. Dalam tradisi Islam, proses ini disebut tazkiyah al-nafs, yaitu penyucian jiwa melalui ilmu. Artinya, belajar tidak berhenti pada mengetahui, tetapi berlanjut pada menjadi.

Kita bisa belajar dari tradisi surau di Minangkabau, di mana ilmu diajarkan bukan hanya melalui kata-kata, tetapi melalui keteladanan. Guru tidak hanya mengajarkan ayat, tetapi juga cara hidup. Murid tidak hanya mendengar, tetapi menghayati. Hubungan guru dan murid tidak putus ketika pelajaran selesai, karena belajar adalah perjalanan hidup yang terus berlanjut.

Tradisi seperti ini sangat relevan di tengah dunia digital yang serba cepat. Ia mengingatkan bahwa belajar sejati tidak bisa dipersingkat oleh waktu atau digantikan oleh mesin. Belajar adalah seni menumbuhkan kesadaran, dan kesadaran memerlukan keheningan, kesabaran, serta kerendahan hati.

Kita kini hidup di masa ketika pengetahuan mengalir seperti air, tetapi kebijaksanaan menjadi semakin langka. Semua orang bisa mengakses informasi, tetapi tidak semua mampu menimbang makna. Dalam situasi seperti ini, tugas kita bukan sekadar mencari ilmu baru, tetapi juga memelihara cara lama dalam memahami.

Ilmu harus kembali dipandang sebagai proses etis, bukan sekadar alat produktivitas. Setiap pengetahuan seharusnya membawa dampak moral. Belajar tidak boleh terpisah dari kejujuran, empati, dan tanggung jawab sosial. Jika tidak, pengetahuan hanya akan melahirkan kesombongan digital, kesan tahu yang menutupi kedangkalan.

Generasi baru membutuhkan orientasi baru dalam belajar. Mereka tidak hanya perlu diajak membaca buku, tetapi juga membaca kehidupan. Mereka perlu diajak merenung, bukan sekadar menghafal. Mereka perlu memahami bahwa belajar sejati bukanlah lomba, tetapi perjalanan batin yang tidak pernah selesai.

Pada akhirnya, teknologi bukan musuh ilmu. Ia adalah alat yang bisa memperluas jangkauan pengetahuan, asalkan digunakan dengan kesadaran. Yang perlu diwaspadai bukan mesin, tetapi mentalitas instan yang membuat manusia kehilangan kesabaran untuk berpikir.

Mungkin sudah saatnya kita kembali pada makna asli belajar. Dalam bahasa Arab, kata ta’allum berasal dari akar kata yang sama dengan alam, dunia. Belajar berarti mengenali dunia, baik dunia di luar maupun dunia di dalam diri. Karena itu, orang yang sungguh belajar bukanlah yang paling banyak tahu, tetapi yang paling dalam memahami.

Baca Juga..

Kapan Ilmu Menjadi Bijaksana?

Kita hidup di zaman ketika data bisa menentukan arah hidup manusia. Segala sesuatu kini diukur dengan algoritma, dari...